Tetangga sebelah kanan saya adalah seorang tukang jahit. Dia bilang
ayahnya, kakek dan neneknya dan para leluhurnya juga tukang jahit. Sudah
berpuluh-puluh tahun menjadi tukang jahit. Kondisi kehidupannya tidak kaya,
juga tidak miskin. Cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Walaupun
kalau ada biaya yang cukup besar terpaksa harus cari utangan.
Anehnya, jahitan yang digarapnya adalah order tetap dari seorang juragan.
Dengan upah fix cost per satu pakaian Rp 15.000 dari 15 tahun yang lalu tidak
juga ada perubahan sampai sekarang. Sepertinya merupakan hal yang tabu kalau
harus menawar tarif karena dari dulu sudah diberi order tetap. Mereka
beranggapan order tetap itu adalah bentuk dari kemurahan dan kebaikan hati sang
juragan.
Sementara tetangga sebelah kiri saya juga tukang jahit. Bedanya, dia
sekolah tukang jahit di kota besar selama satu tahun. Selain menjahit, juga
belajar pola dan desain. Yang dia kerjakan bukan hanya menerima orderan dari seseorang,
tapi dia sendiri kadang-kadang mencari orderan. Tarif yang ditawarkan
bermacam-macam, kalau hanya menjahit pakaian dengan pola yang sudah ada bisa
murah. Kisaran Rp 50.000 saja. Tapi kalau mau membuat pakaian dengan jenis yang
lain ada dua harga, pertama harga menjahit dan kedua harga membuat pola sesuai
pesanan. Harga membuat pola bisa 3-5 kali lipat harganya.
Pekerjaan tetangga saya yang kedua ini belum lama dilakukan. Dia berprofesi
sebagai tukang jahit sejak 3 tahun yang lalu. Sebelumnya dia adalah seorang
marketing yang berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Tapi karena
perusahaannya bangkrut, dia alih profesi menjadi tukang jahit. Uang pesangonnya
digunakan untuk kursus menjahit dan membuat pola. Bisa dibandingkan, tetangga
kedua mendapatkan penghasilan jauh lebih besar daripada tetangga yang pertama.
Apa perbedaan penjahit pertama dan penjahit yang kedua? Saya menilai
penjahit pertama adalah tipe orang yang tekun, sabar dan nrimo. Sehingga
pekerjaan yang sudah dilakoninya sejak berpuluh-puluh tahun terus diwariskan ke
generasi berikutnya. Tapi memang tukang jahit pertama miskin kreativitas.
Sementara tukang jahit yang kedua adalah tipe orang yang kreatif. Dia tidak mau
menerima keadaan yang itu-itu saja, dia belajar berbagai macam hal. Bila
mendapatkan order atau membeli barang, kalau bisa ditawar kenapa tidak. Tipe
yang kedua ini dikategorikan sebagai penjahit yang kreatif sekaligus tekun.
Tekun karena dia juga menjalaninya dengan serius, tidak dikerjakan asal-asalan.
Di zaman yang serba berubah seperti sekarang ini, ketekunan saja tidak
cukup. Memang ketekunan adalah modal awal untuk mencapai tujuan. Tapi ketekunan
tanpa kreativitas bisa benar-benar berbahaya. Mengapa berbahaya? Kalau
mengambil contoh tukang jahit di atas, bila suatu saat tidak ada order menjahit
maka mereka bisa-bisa tidak bisa mendapatkan uang, tidak bisa makan dan
akibat-akibat lainnya, karena keterampilan mereka hanya satu. Sementara sikap
orang kreatif bila terjadi perubahan situasi ekonomi apakah bentuknya sepi
order atau hal lainnya, mereka akan mencari jalan keluar dan belajar hal baru.
Sehingga walaupun sepi order di bisnis pertama, dia masih bisa melangsungkan
pekerjaannya di bisnis yang lain.
MELATIH KREATIVITAS
Kreativitas itu tidak bisa muncul sendiri, perlu dilatih, diasah dan
dilakukan secara terus menerus. Kreativitas itu pekerjaan otak kanan seperti
berimajinasi, membayangkan gambaran-gambaran baru, memvisualisasikan ide-ide
spektakuler. Bahkan mengabaikan istilah tidak mungkin. Semuanya bersifat mungkin,
kalau orang lain bisa melakukan, dirinya juga bisa melakukan juga. Kalau dalam
imajinasi masih tergambar, suatu ketika bisa terwujud. Orang-orang Jepang
adalah salah satu contoh orang yang memiliki kualitas mental tekun dan kreatif.
Tekun karena mau melakukan satu pekerjaan sampai selesai, kreatif karena selalu
mencari inovasi baru dari waktu ke waktu. Tidak heran kalau produk otomotif
seperti motor dan mobil lahir dari tangan-tangan putera negeri Jepang.
Mengapa Jepang sampai memiliki mental seperti itu? Banyak faktor yang
menyebabkannya. Faktor alam cukup dominan, di sana tidak ada sawah, ladang,
hutan yang hijau. Jangan harap bisa menanam singkong di Jepang. Gempa bumi pun
menjadi langganan Jepang karena letak geografis negeri tersebut berada tepat di
antara lempengan bumi. Tapi kondisi yang sulit tersebut memaksa mereka untuk
berpikir keras untuk mencari jalan keluar. Dan betul, jalan keluar ditemukan.
Pikiran kita bekerja sesuai dengan program si empunya. Bila si empunya pikiran
menyuruh untuk mencari solusi atas satu persoalan, jawaban atas persoalan
tersebut segera ditemukan. Sebaliknya bila pikiran dibiarkan tidur dan
“nganggur” tidak akan ada hasil apapun.
Tengoklah negara Indonesia yang hijau, subur, menanam singkong langsung
jadi. Kondisi alamnya benar-benar memanjakan. Nganggur pun masih bisa makan,
apakah dengan tebal muka ikut orangtua terus atau meminta kepada teman. Bahkan
tidak sedikit yang sudah menikah masih tinggal bersama orangtua dengan berbagai
macam alasan, baik alasan ekonomi atau alasan psikologi kangen orangtua.
Terlepas dari alasan apapun dengan berbagai macam pembenarannya, kondisi di
Indonesia seperti itu memunculkan sikap miskin kreativitas, tidak berani dengan
risiko, comfort zone dan mencari aman. Paradigma yang muncul adalah lebih baik
tetap dengan kebiasaan lama walaupun penuh dengan risiko buruk, tapi risiko itu
sudah diketahui sejak lama. Orang malas resikonya tidak punya penghasilan
banyak, tapi tetap malas karena risikonya sudah diketahui. Sementara untuk
melompat keluar zona nyaman risikonya ada dua, gagal dan berhasil. Kalau
berhasil tidak ada masalah baru, tapi kalau gagal ini yang repot. Sementara
kegagalan di luar zona nyaman sama sekali belum diketahui risikonya akan
seperti apa. Demikian kira-kira mengapa paradigma comfort zone senantiasa
dipertahankan.
Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah, bagaimana supaya bisa keluar
dari zona nyaman? Bisa dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah dengan
sungguh-sungguh memaksakan diri keluar dari kebiasaan lama sambil belajar. Ini
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesadaran bahwa hidup ini harus
berubah terus kalau ingin tetap survival dan selalu bisa menjawab tantangan
yang muncul. Sementara cara kedua dengan tingkat risiko yang lumayan tinggi,
bisa berhasil bila disikapi secara positif dan bisa juga gagal bila disikapi
negatif. Caranya adalah mengalami persoalan hidup yang berat, apakah di-PHK,
rumah kebakaran, merantau keluar kota, orangtua yang menjadi tumpuan meninggal
atau kena tipu orang sehingga kekayaannya ludes. Yang berpikir positif akan
memulai lagi dari nol dan terus berjalan sambil terus menerus belajar. Yang
menyikapi secara negatif, kejadian tersebut dianggap sebagai kiamat dunia yang
membuatnya frustrasi, gila bahkan bunuh diri.
Banyak contoh kasus orang-orang yang berhasil melampaui persoalannya.
Hellen Keller misalnya, adalah contoh sukses dari orang yang buta dan tuli.
Tapi mengapa dia berhasil menempuh pendidikan sampai tingkat Doktor dan menjadi
orang yang memiliki kepedulian tinggi pada orang buta dan tuli. Thomas Alfa
Edison yang tuli bisa menjadi tokoh besar dalam sains dan contoh-contoh konkret
lainnya.
Tidak ada kaitan antara cacat fisik dengan kesuksesan. Kalau mereka yang
cacat bisa sukses, mengapa kita yang memiliki struktur fisik yang normal sangat
cengeng dan mudah menyerah. Di sinilah perbedaan mental baja dan mental
kerupuk. Dan itu perlu latihan terus menerus untuk memiliki mental baja patang
menyerah, apapun tantangan yang muncul bisa dihadapi dengan senyuman.
Tolong “share” ke teman-teman
yang lain agar mereka juga dapat memetik hikmah yang ada pada kisah di atas.
Semoga dapat bermanfaat bagi kehidupan kita, terimakasih.